26.12.11

we're Zombies

For Several weeks, I've been watching Walking Dead commercial television in Star World. This is a drama series about Zombies versus several normal people who still survive. I become interest with the music background commercial,  Mad World by Gary Jules version.    

It become more interesting because the song and the subjects in the movie has a connectivity.

We live in the mad world. Are you Zombie or the people who survived among the greedy Zombies?
I described zombie as a greedy creatures, they just think about fulfill their stomach. Same as Real Zombies,  nowadays we called Zombie New Era, just thought  about stomach, looks, and fake existence. Therefore we forgot the real people, feeling, and happiness.  Dont you think a smarthphone spread the  Zombie viruses?? I guess so. In a real fact It's very hard to greeting real people.

What about people who survive? They are just a small groups live in high threaten, pressure, and hesitate. But they have one each others, warm, and share their feeling.      

6.12.11

still wandering still wonderful

21.10.11

  



Mad Being Famous...

5.10.11

Sunda Kelapa Port, Jakarta "Berlabuh di Hatiku"

"Beach Boys"
"Sundonwn behind Flag"
"For The Better Future"
"Perjamuan Makan Siang"
"Berat Sama dijinjing, Ringan Sama dipikul"
"Kapal Pesiar"
Sunda Kelapa, 2009

30.9.11

The Northern of Thailand

Sebuah hari yang cerah- sedikit berawan dan menyengat- untuk melakukan perjalanan di negeri 1000 pagoda. Hari ini adalah hari kedua saya menghabiskan waktu di salah satu kota Thailand di bagian paling utara, Chiang Mai. Chiang Mai merupakan sebuah kota yang berbatasan dengan kota Mae Sae ,kota yang berbatasan langsumg dengan negara Myanmar. Dahulu Chiang Mai juga terkenal dengan daerah penghasil Poppy Flower atau opium- disini juga terdapat museum yang bercerita mengenai opium, namun sekarang tanaman ini sudah sulit untuk ditemukan karena penduduknya sudah mulai beralih ke tanaman perkebunan yang lebih menguntungkan dan lebih legal untuk dijual tentunya. 

Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya saya hanya dapat mengunjungi beberapa tempat eksotis seperti Pagoda yang terbuat dari serpihan kaca, Golden Triangle, Desa "Long Neck Karen", dan Kota Mae Sae, sebuah kota yang menjadi perbatasan Thailand dengan Myanmar. 
Pagi hari kami siap berangkat dengan menggunakan mobil sewaan yang telah kami pesan sehari sebelumnya. Pukul 11.00 kami ternyata baru siap berangkat- tidak disarankan karena terlalu siang ;p- dari hotel  Shangrilla tempat saya dan keluarga saya (om, budhe, dan saudara sepupu). Sang driver rupanya sudah menunggu lebih dari satu jam dan dia tidak memberi kabar. Berikutnya nama supirnya adalah ---- no idea! sebut saja  Pak Shin Thak karena susah diingat yang saya ingat dia lelaki paruh baya dengan menggunakan mobil Chevrolet keluaran terbaru (milik sendiri) dan bapak Shin Thak menggunakan baju kemeja lengan pendek biru dan celana panjang kain hitam, kemudian dia menggunakan hands-free karena dia sering mendapat telepon. kemampuan bahasa Inggrisnya terbatas jadi ketika di mobil agak sedikit diam karena adanya jurang pemahaman bahasa.  

Kunjungan pertama kami melewati sebuah pagoda yang sangat menarik mata dan hati. Warnanya yang sungguh berkilau menyilaukan mata karena terbuat dari mozaik serpihan kaca ditambah teriknya matahari pada saat itu yang berada di atas ubun-ubun. Sebenarnya kami tidak ada rencana untuk mengunjunginya namun karena sekalian lewat jadi kami berhenti jaraknya kira-kira 1 jam-an lebih. Alasan kedua adalah karena pemandangan selama perjalanan terasa seperti jalan menuju pantai di daerah Bantul atau daerah Pantura- rumah jarang dengan hamparan tanah kosong-


Destinasi berikutnya adalah Desa Long Neck Karen. Sebuah desa yang berisi wanita-wanita yang menggunakan kalung besi dengan berat 5 Kg sehingga ukuran lehernya diatas normal rata-rata manusia pada umumnya. Lehernya menjadi menjulang ke atas. Awalnya saya pikir kami akan berkunjung dengan ratusan atau ribuan wanita berleher panjang tapi ternyata penduduk ini sudah dikomersialkan dan menjadi objek  tujuan wisata. Jadi, kami berkunjung ke salah satu miniatur desa tempat seperti tempat asal mereka. Masih banyak miniatur desa yang menyajikan pemndangan Long Neck Karen sepanjang jalan. Mengawali petualangan melihat suku Long Neck karen kami disambut sebuah terowongan yang terbuat dari tanaman merambat yang mengiringi hingga ke sebuah gubuk kecil yang terbuat dari bambu. Di ruangan itu terdapat foto dan aksesoris suku tersebut. Terutama aksesori  kalung leher yang berat dan ukuranya bervariasi dan dapat kita gunakan untuk berfoto. Kami juga harus membayar beberapa ratus Baht untuk sebagai tiket masuk dan membayar jasa pemandu- seorang anak perempuan  manis dengan menggunakan sarung khas suku Thailand yang berwarna cerah dan dengan atasan hitam.  Jarak yang harus ditempuh lumayan melelahkan karena harus berjalan kaki dengan tanah merah sedikit lembab. Kiri dan kanan juga banyak pohon yang rimbun, suasananya memang dibuat semirip mungkin dengan daerah pedalaman.  Satu persatu kami masuk ke beberapa desa dengan disuguhi pertunjukkan dan kerajinan tangan khas masing-masing suku. Hingga pada akhirnya kami tiba di desa Long Neck Karen. Karena ini pengalaman pertama ada sedikit perasaan takjub melihat wanita dengan ukuran leher yang bisa dibilang di atas normal. Tapi bagi mereka kondisi ini merupakan standar ukuran kecantikan, semakin panjang lehernya maka akan dibilang semakin cantik. Mirip dengan suku dalam di Kalimantan dengan menggunakan anting-anting yang berat sehingga semakin panjang telinganya maka akan semakin dibilang cantik. 
trial and eror "Long Neck Karen"

Pak Shin Thak sebelumnya sudah memberitahu kami agar tidak berlama-lama di desa ini, karena perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh dan takut keburu sore. Jadi ia segera meluncur dengan cepat menuju ke Golden Triangle. Golden Triangle atau Segitiga Emas merupakan sebuah daerah delta sungai yang menjadi perbatasan 3 negara yaitu, Laos, Thailand dan Myanmar. Jadi secara tidak langsung kami sudah berkeliling ASEAN dalam beberapa jam. Golden Triangle juga terkenal dengan tempat untuk berjudi (kasino). Walaupun saya tidak tahu dimana letak persisinya. Jadi kami menyusuri sungai Mekong  dengan perahu motor sederhana -Sungai Mekong dulu sering kita hapalkan ketika SD di pelajaran IPS dan berhenti di masing-masing 3 negara. Karena mayoritas di 3 negara ini memeluk agama Budha maka di tengah-tengah sungai Mekong berdiri sebuah patung Budha yang sangat tinggi dan besar. 

Puas menyusuri Sungai Mekong Pak Shin Thak membawa kami dengan ngebut ke Mae Sae. Sebuah kota yang merupakan perbatasan Thailand dengan Myanmar. Rencananya kami ingin masuk ke negara Myanmar- Saat kami datang sedang dalam penjagaan super ketat dari Myanmar- untuk mendapatkan cap di paspor 
(tujuannya biar menuh-menuhin paspor..hoho). Daerah itu merupakan sebuah daerah yang ramai dengan penjual lapak di pinggir-pinggir jalan dan juga kios-kiosnya. Mulai dari penjual sayuran, buah-buahan, pakaian hingga aksesoris kalung mutiara dan juga barang-barang yang dianggap antik. karena ramai kami jadi terlambat menuju kantor Imigrasi. Jam 5 tepat kantor Imigrasi tutup ditambah pula sedang ada penjagaan ketat dari Pemerintah Myanmar. Budhe saya masih mengusahakan untuk mendapatkan cap dari petugas Imigrasi tetapi petugas itu tetap tidak memberikannya. Walaupun sedikit kecewa tetapi yang penting kami sudah bisa melihat perbatasan negara Myanmar dan Thailand. 

Perjalanan kali ini sudah berakhir dan akhirnya kami sadar bahwa kami belum makan dari siang. Mungkin karena sudah kalap breakfast di hotel yang enak dan sepuasnya, terutama makan bacon yang tidak terlalu kering dan basah. Pak Shin Thak saya rasa sudah lapar tingkat dewa-dewa di khayangan. Mukanya sedikit pucat dan ngebut hingga tiba-tiba langsung masuk ke sebuah restoran seafood. Aneh juga di daerah yang jauh dari laut sedikit condong ke arah pegunungan ada rumah makan seafood. Restorannya lumayan besar dan ramai suasanya seperti restoran Indonesia - apakah anda pernah ke Pringsewu di Jogja?- tapi bedanya pelayan perempuannya menggunakan rok mini. Pemilihan menu kami hanya tahu Tom Yum selebihnya kami menyerahkan ke Pak Shin Thak. Tetapi ternyata tidak ada yang tidak enak... enak banget! Mantab Pak Shin Thak! Enak Tenan!
PringSewu ala Thailand
Yuhuu perjalanan masih jauh menuju ke penginapan. Malam pun semakin larut dengan kiri-kanan tanah kosong dengan sesekali bukit batu. Satu hal lagi Thailand hampir mirip seperti Bali namun bedanya mereka menganut agama Budha. Di tiap tikungan jalan selalu dijumpai sebuah patung Budha lengkap dengan sesajennya. Pak Shin Thak juga selalu mengedipkan lampu mobilnya. Hmmm sedikit seram karena tiba-tiba teringat film horor Thailand yang dahsyat menakutkan.... kemudian agak sedikit horor lagi ketika tengah-tengah perjalanan Pak Shin Thak mengantuk, mungkin karena dia juga sudah tua dan lelah seharian harus menyetir. Om saya dengan baik hati menawarkan untuk gantian menyetir mobil, tapi Pak Shin Thak tetap tidak mau digantikan. Itu lebih horor lagi...  

Akhirnya jam 12 malam kami tiba di hotel dan Voila! Besok siang kita kembali. Sewadikap! 

 

 

14.4.11

Gentle(wo)man

  who's my big family
who's my parent
who's my brother and sister
does anyone know



  
 

8.4.11

10.3.11

I love stranger...
                                              

                                         "Middle class Labour"