5.9.10

Bahagia Menjadi Minoritas

Beberapa waktu lalu, di Amerika terjadi sebuah kontroversi mengenai pembangunan masjid di area Ground Zero atau monumen tempat terjadinya tragedi 11 September. Warga Muslim Amerika yang tak lain dan tak bukan merupakan kaum minoritas berinisiatif untuk membangun Islamic Center yang dilengkapi dengan tempat beribadah. Ide tersebut menuai kontroversi di antara warga Amerika terutama ditentang keras oleh para satuan petugas seperti petugas pemadam kebakaran dan polisi. Mereka merasakan bagaimana teman-teman seperjuangan banyak yang menjadi korban karena tugas penyelamatan tragedi 11 September tersebut. Tak lama kemudian di negara bagian lain Amerika, warga minoritas tersebut juga mendapat kecaman atas pembangunan masjid.  Padahal Amerika merupakan negara yang sangat demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Saya seorang warga negara dengan status kaum minoritas. Saya  merasakan  keinginan para warga minoritas di Amerika. Peristiwa di atas sebenarnya sudah sering terjadi dan menjadi rahasia umum di negara saya tinggal. Beberapa kali saya mendengar, membaca, dan mengalami sendiri masalah susahnya membangun rumah ibadah. Di awali dengan pengurusan ijin yang sangat lama dan berbelit-belit. Tentu saja lebih mudah dan cepat mengurus ijin pembangunan perumahan yang menghasilkan keuntungan berlipat daripada memberi ijin pembangunan rumah ibadah. Negara saya juga tidak kalah hebat  dari Amerika menjunjung berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Saya merasakan menjadi minoritas ketika saya les di luar sekolah dan tidak lagi bersekolah di sekolah swasta beragama. Ketika di sekolah swasta itu saya merasa bebas dan tidak merasakan adanya sensasi bertoleransi, karena saya hidup dengan sesama kumpulan sejenis minoritas. Maka dari itu saya  bertekad keluar dari situasi tersebut. Sekolah lah saya ke sebuah perguruan tinggi negeri dan di sana saya belajar melebur dengan berbagai jenis manusia dan kemudian saya positif minoritas. Bagaimana saya bertoleransi dengan teman-teman yang akan beribadah. Keadaan ini lebih terasa ketika bulan puasa. Hanya segelintir teman-teman saya yang tidak melakukannya dan selalu bersama-sama makan siang. Sebenarnya tulisan ini bukannya ingin mendiskriminasi atau merendahkan diri suatu kepercayaan tetapi saya ingin membagi ketika kita menjadi minoritas rasa toleransi kita akan semakin besar dan terasah. Pandangan kita akan perbedaan semakin luas. Kita menjadi lebih bisa menerima kenyataan bahwa hidup dalam perbedaan  adalah sesuatu yang hebat. Rasanya memang sepele tetapi ini adalah hal kecil yang sudah saya terima. Bahagia menjadi minoritas...